Kontradiksi Antara Konser dan Syukuran

-6 Dilihat
Personil Wali Band saat tampil di Blang Padang, 5 Oktober 2022. (Foto Dok. penulis)

“Penolakkan ini dilakukan karena keadaan Aceh sedang dalam situasi berduka pasca wafatnya ulama sepuh/kharismatik Aceh yaitu Teungku Muhammad Amin atau yang lebih dikenal dengan Abu Tumin Blang Blahdeh.”

*) Oleh : Aris Faisal Djamin, S.H

Dengan tetap digelarnya acara Syukuran dan Doa Bersama dalam rangka HUT TNI ke-77 di Lapangan Blangpadang Banda Aceh, tentu mendapat pandangan berbeda didalam masyarakat Aceh. Satu hari sebelum terselenggaranya acara tersebut, beberapa komunitas dan aliansi masyarakat banyak menolak, baik itu di media sosial secara pribadi maupun dalam bentuk unjuk rasa (demo).

Baca juga

Penolakkan ini dilakukan karena keadaan Aceh sedang dalam situasi berduka pasca wafatnya ulama sepuh/kharismatik Aceh yaitu Teungku Muhammad Amin atau yang lebih dikenal dengan Abu Tumin Blang Blahdeh.

Hal ini mendapat klarifikasi dari Kapendam IM, Kolonel Arm Joko Setiyo K, M.Si pada Selasa (4/10/2022). Beliau mengatakan melalui rilis beritanya bahwa Kodam Iskandar Muda Banda Aceh tidak mengadakan konser musik. Hal ini agar tidak terjadi mis persepsi sehingga menimbulkan kegaduhan. Kodam IM mengadakan acara Syukuran dan Doa bersama. Dimana grup band Wali juga akan tampil dengan membawakan lagu-lagu religi.

Namun klarifikasi ini tentu mengundang pertanyaan dan kegelian dengan narasi Syukuran dan Doa bersama, sedangkan konteks yang utama adalah “Aceh Sedang Berduka”. Tentu secara tidak langsung antara tuntutan masyarakat dengan realisasi berbeda, masyarakat menginginkan penundaan konser akan tetapi diksi berita yang beredar adalah “Kodam IM Batalkan Konser Musik” diganti dengan pilihan kata syukuran dan Doa bersama [sumber: Seuramoe Informasi Pemerintah Aceh].

Jika kita mau flashback kebelakang, pada tahun 2016 lalu kejadian yang sama pernah terjadi sewaktu wafatnya Abon Seulimum dan Abuya Djamaluddin Wali. Pada saat itu grub band Sheila On 7 menunda konsernya di Banda Aceh demi menghormati mangkatnya ulama Aceh. Hal ini disampaikan langsung oleh Project Director Syiar dan Syair Sheila On 7 The Light of Aceh, Ivan kepada Tribunnews melalui rilis resminya.

Seharusnya contoh diatas masih berlaku dengan keadaan yang sekarang, menghormati dan berpengalaman kebelakang, tentang kapan baiknya acara tersebut dilaksanakan pasca seorang ulama sepuh wafat. Tentu yang dilihat oleh masyarakat adalah permasalahan Etika, apalagi hal ini berkaitan kuat dengan slogan “Bersama Rakyat TNI Kuat dan TNI Adalah Kita”. Walaupun acara tersebut diselimuti dengan rangkain acara islami seperti; pembacaan ayat suci Al-Qur’an, ceramah agama oleh Dr. H. Das’ad Latif, S.Sos., S.Ag., M.Si, dan doa semacamnya.

Akan tetapi bagaimanapun rangkaian itu dibuat, tetap menjadi bahan observasi masyarakat. Terakhir juga dipersembahkan lagu oleh Band Wali yang membuat muda-mudi Aceh bersorak-sorai larut dalam alunan nada serta lemparan cindera mata, sejauh ini belum kami temui acara syukuran dan doa bersama diselingi dengan aktivitas muda-mudi layaknya konser. Mungkin bisa saja itu adalah syukuran dan doa bersama jenis dan bentuk baru.

Kontradiksi opini dan merubah mindset berfikir masyarakat dengan mengundang keluarga Abu Tumin, merupakan sebuah tindakkan yang seolah-olah membuat legalitas baru. Sedangkan permintaan masyarakat Aceh adalah penundaan konser, tentu hal semacam ini bertolak-belakang dengan maksud dan tujuan awal, yang awalnya meminta menghormati wafatnya ulama dan berakhir dengan undangan keluarga. Jika saja panitia legowo untuk melaksanakan penundaan acara, dapat dipastikan iklim opini seperti ini tidak muncul dan bisa terlaksana dengan baik.

Terakhir, baik kiranya Pejabat Gubernur Aceh dan Pejabat Walikota Banda Aceh atau unsur yang terlibat belajar kembali bagaimana kearifan Aceh, yang nantinya bisa tertuang dalam corak kepemimpinan selama memimpin Aceh. Apakah baiknya ditunda atau pergantian diksi tetapi hasilnya sama dengan perkiraan?. Tulisan ini di buat dari salah-satu sudut pandang yang kiranya masih menghormati, akan tetapi sedikit mengkritisi.(**)

*( Penulis adalah Sekretaris Umum Majelis Pemangku Adat Kesultanan Aceh Darussalam, dan saat ini tinggal di Susoh, Aceh Barat Daya, Aceh.