Pada awalnya gedung ini bukan merupakan bangunan masjid (bangunan utama Masjid Cut Meutia tidak simetris dengan arah kiblat dan memiliki tingkat kemiringan 15 derajat dari dinding bangunan).
Oleh: Saiful Maarif *
Jika berkesempatan berkunjung atau melewati kawasan Stasiun Gondangdia, Jakarta Pusat, pandangan tidak akan lepas dari bangunan Masjid Cut Meutia. Berdiri di sebelah Stasiun Gondangdia, masjid ini langsung menyita perhatian karena bentuknya yang tidak lazim sebagai sebuah masjid.
Bangunan masjid ini dulunya adalah kantor biro arsitek Belanda tahun 1879 bernama Naamloze Vennootschap Bouwploeg. Hadir di tengah-tengah lingkungan Betawi, masyarakat sekitar lebih mengenal daerah seputar wilayah ini dengan sebutan yang lebih dekat ke lidah mereka: Kampung Boplo. Boplo pula adalah nama pasar tradisional yang terletak di seberang Stasiun Gondangdia.
Tidak sebagaimana masjid pada umumnya yang memiliki kubah dan ornamen khas Islam, bangunan Masjid Cut Meutia lebih terlihat sebagai bangunan kuno peninggalan masa kolonialisme Belanda bergaya arsitektur Art Nouveau. Salah satu bangunan penting yang menandai aliran ini adalah Gereja Sagrada Familia, yang disebut sebagai sebuah maha karya, besutan arsitek ternama asal Spanyol, Antoni Gaudi.
Art Nouveau memiliki kekhasan sebagai bangunan khas Eropa Abad Pertengahan yang secara umum dicirikan dengan lekukan garis-garis yang organik namun lentur dan ditandai dengan bentuk tumbuhan, sulur-sulur, dan kelopak bunga.
Tampilan sisi luar (fasad) masjid ini tidak mengesankan nuasa Timur Tengah sama sekali, tidak terlihat penanda kubah besar tunggal di atap masjid sebagaimana lazimnya masjid di tanah air. Fasad masjid ini lebih mirip dengan gedung peninggalan kolonial Belanda, dengan pemasangan jendela yang hampir mengelilingi seluruh dinding bangunan.
Di sisi interior, kesan bangunan peninggalan masa kolonial masih terlihat jelas dari jarak lantai dan langit-langit bangunan yang cenderung tinggi dan pemasangan lampu khas Belanda yang mewah dan artistik.
Arah kiblat di masjid ini tidak lurus sejajar dengan struktur bangunan, terlihat dari pemasangan karpet untuk jamaah salat yang menyerong sekitar 45 derajat. Hal ini menyesuaikan kondisi karena pada awalnya gedung ini bukan merupakan bangunan masjid (bangunan utama Masjid Cut Meutia tidak simetris dengan arah kiblat dan memiliki tingkat kemiringan 15 derajat dari dinding bangunan).
Selain itu, penempatan mihrab dan mimbar juga menyesuaikan kondisi. Di Masijd Cut Meutia, mimbar dan mihrab dibuat terpisah; mimbar di antara saf jamaah, sedangkan mihrab (tempat imam memimpin salat) terletak di samping kiri paling depan dari posisi jamaah.
Sementara itu, di sisi sebelah atas kanan bangunan Masjid Cut Meutia, terpampang tulisan besar “Bouwploeg” berwarna hitam. Tulisan tersebut mewakili kesejarahan Masjid Cut Meutia pada mulanya.
Bouwploeg menunjukkan peruntukan bangunan masjid ini yang dulunya merupakan kantor pemerintahan Belanda dan dipergunakan untuk berbagai fungsi setelahnya hingga dipergunakan sebagai masjid melalui Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 5184/1987 tanggal 18 Agustus 1987.
Dengan tetap terjaga dan berfungsinya bangunan ini sebagai sarana ibadah bagi publik, terdapat pesan penting yang mewarnai berdiri dan berfungsinya Masjid Cut Meutia hingga kini. Pesan penting tersebut adalah mengenai peran masjid dalam ikut menjaga nilai keragaman dan warisan budaya.
Masjid sebagai peninggalan sejarah dan upaya menjaganya selaku cagar budaya meninggalkan catatan penting sebagai bagian dari upaya menjaga keragaman. Di titik ini masjid Cut Meutia menjadi bagian penting dari promosi keragaman dan keberagamaan.
Selain itu, pada kesehariannya, banyak pula ditemui turis dan wisatawan yang berkunjung utuk melihat cagar budaya ini. Dengan tetap melestarikan ciri khas bangunan awal sebagai bagian dari cagar budaya di Jakarta, Masjid Cut Meutia turut menjaga dan memperkuat semangat keberagaman dan keberagamaan sekaligus.
Sejalan dengan itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga memberikan dukungan yang signifikan terhadap upaya pelestarian dan pemanfaatan Masjid Cut Meutia. Awal tahun ini, Pemprov DKI Jakarta menyampaikan komitmennya untuk melakukan restorasi dan peningkatan fasilitas dan layanan Masjid Cut Meutia.
Komitmen ini menandai dan memperkuat kerja sama Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta dengan berbagai pihak terkait, khususnya dalam konteks pelestarian warisan dan cagar budaya pada bangunan kuno bersejarah.
Lahan Komunal
Pelestarian peninggalan kolonial pada Gedung Bouwploeg dalam beberapa hal mengingatkan upaya serupa yang dilakukan pemerintah kota di berbagai belahan dunia, salah satunya di Jerusalem, Palestina pada awal Abad 19.
Pada periode 1917- 1926, Gubernur pertama Jerusalem, Ronald Storrs, yang berada di bawah konstitusi British Mandate saat itu, memiliki perhatian yang demikian besar terhadap pelestarian peninggalan bersejarah di wilayah Jerusalem.