TRADISI MEUGANG; KARUNIA PARA RAJA ACEH

-1788 Dilihat
Meugang pada masa kolonial Belanda tahun 1906.

Oleh : Aris Faisal Djamin, S.H

SIGUPAINEWS.COM – Jejak tradisi Meugang di Aceh sudah ada sejak tahun 1607, saat Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam di tabalkan sebagai Sultan ke-XII Kesultanan Aceh Darussalam. Meugang bukan saja sebuah tradisi memasak daging sehari sebelum Ramadhan, sebelum Idul Fitri, dan sebelum Idul Adha. Jauh dari presepsi tersebut, Meugang adalah sebuah tradisi atau adat yang dipraktekkan oleh Raja-Raja di Aceh. Dengan memperlihatkan sisi kedermawanan sang Raja, sosok Sultan yang memperhatikan rakyat, dan mampu membuat rakyat dari sang Sultan berkecukupan menjelang masuknya 3 hari besar tersebut.

Baca juga

   Meugang diambil dari kata “Makmue” dan “Ghang” yang dalam bahasa lainnya adalah “Memakmurkan setiap gang atau lorong-lorong perumahan rakyat”. Kebiasaan atau adat ini dimulai satu hari sebelum memasuki bulan puasa Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Mengenai tradisi Meugang ini, Sultan Iskandar Muda kemudian mencantumkan Adat Meugang dalam Qanun Meukuta Alam pada Bab II ayat 47, yang berbunyi :

     Telah termaktub dalam Qanun Meukuta Alam al-Asyi Darussalam, bahwa jika datang sampai tahun hampir hari Madmeugang, yaitu Madmeugang Puasa dan Madmeugang hari raya Fitrah dan Madmeugang hari raya HajI, Maka sebelumnya Madmeugang kira-kira satu bulan lagi jauh Madmeugang maka hendaklah Geuchik-Geuchik dan wakil dan Imam Meunasah serta Tuha Empat menilik dan memeriksa pada tiap-tiap kampung sendiri masing-masing Geuchik dan masing-masing Mukim yaitu berapa banyak orang fakir miskin dan inong balee dan yatim piatu dan yang sakit lasa dan buta dan barang sebagainya.

     Hendaklah diberi tahu kepada Imam Mukim memberi tahu kepada Qadhi dan kepada Hulubalang. Dan Qadhi dengan Hulubalang hendaklah memberi tahukannya kepada Qadhi Dua Puluh Dua dan masing-masing mereka itu Panglima Lhèe Sagoe dan Qadhi Lhèe Sagoe maka memberi tahukannya kepada Qadi Mu’azzam. Dan Qadi Mu’azzam memberi tahu kepada Syaikh al-Islam Mufti Empat maka Mufti Empat memberi tahukan kepada Sultan dan Sultan itu ada yang memakai Tandil Siasat.

      Maka dibuka oleh Qadhi Mu’azzam khazanah Balai Silaturrahmi yaitu mengambil dirham dan kain dan dibeli kerbau atau sapi hendak dipotong hari Madmeugang. Maka dibagi-bagikanlah daging kepada sekalian mereka itu yang tersebut. Yaitu pada tiap-tiap satu orang maka yaitu seemas daging dan dapat uang lima mas dan dapat kain enam hasta. Maka pada sekalian yang tersebut semua diserah kepada Geuchik-nya masing-masing gampong daerahnya. Sebab karena sekalian mereka itu yang tersebut hidup melarat lagi tiada mampu membelikannya, maka itulah sebab pemerintah Aceh memberi tolongannya dengan perintah Sultan atau Rais Jumhuriyyah.

  Tradisi Meugang juga dirayakan sebagai bentuk syukur dari kemakmuran Kesultanan Aceh Darussalam, sekaligus wujud terima kasih untuk rakyatnya dalam menyambut bulan suci Ramadhan dengan hati gembira bersama sang Raja dan pembesar kesultanan.

Tradisi Meugang Pada Masa Kolonial

Sejak dideklarasinya “Perang Aceh” oleh pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1873, sejak saat itu pula Tradisi Meugang tidak pernah dilaksanakan lagi oleh Sultan Aceh. Namun tradisi tersebut tidak pernah berhenti, setelah Sultan Aceh dan pembesarnya pidah dari Istana Darud Dunya ke Keumala Dalam. Tradisi Meugang dilanjutkan oleh Raja-Raja wilayah diseluruh Aceh, setiap menjelang puasa para Uleebalang dan Panglima Sagoe memberikan santunan daging kepada rakyat di negeri yang ia pimpin.

   Hal ini membuktikan bagaimana tradisi atau Adat yang diciptakan oleh para pendiri Aceh, sudah mendarah daging dan bersifat positif bagi seluruh rakyat di dalam negeri Aceh Darussalam.

   Sebuah tradisi yang hadir dari karunia sang raja untuk rakyatnya, sebuah pengabdian untuk bangsa dan negera, serta sedakah sang raja dari sebagaian hartanya. Semoga Allah rahmati para Sultan, Uleebalang, dan para pemimpin Aceh yang semasa hidupnya selalu menaburkan kebaikan untuk rakyatnya. Rahimahullah Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam.

Tradisi Meugang Pada Masa Sekarang

   Hari ini pola Tradisi Meugang tersebut sudah bergeser jauh dari asalnya. Jika awalnya tradisi tersebut adalah sebuah karunia dari pada raja-raja Aceh, sekarang tradisi Meugang hanya sebuah segmen dari kegiatan jual-beli daging yang dilakukan menjelang puasa Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Tidak ada lagi sebuah karunia dari seorang pemimpin untuk para rakyatnya, malahan menjelang 3 hari besar tersebut harga daging dibeberapat tempat di Aceh bisa diluar batas harga daging nasional.

    Saat ini tradisi Meugang di Aceh hanya didefinisikan sebagai “Tradisi memasak daging dan menikmati bersama kelurga, banyak ragam masakan yang diolah menggunakan bahan daging pada suasana meugang, makmeugang diawali dengan pemotongan sapi, kerbau ataupun kambing, sebagian masyarakat juga ada yang membeli daging untuk mengolah dalam memenuhi tradisi makmeugang ini.” Hal tersebut tercantum dalam halaman resmi Pemerintah Aceh tentang Tradisi Meugang di Aceh.

    Namun sebagian rakyat Aceh masih memegang prinsip-prinsip awal tradisi Meugang, masih banyak masyarakat Aceh kelas menengah dan atas yang tinggal di rantau membuat “Khanduri Meugang” dirumahnya. Sebagai bentuk syukur atas karunia dari Allah SWT yang telah memberikan rezki dan umur panjang, biasanya Khanduri Meugang ini dilaksanakan dirumah-rumah sambil mengundang teman-teman seperantauan di negeri tersebut yang belum sempat pulang ke kampung halaman.

     Demikianlah perjalanan Tradisi Meugang yang sudah berlangsung selama 416 tahun di Aceh, dengan berbagai macam pembaharuan di setiap masanya. Semoga tradisi yang awalnya sebuah karunia atas kebaikan para pemimpin di Aceh masih berlanjut hingga masa anak-cucu kita dimasa depan. Sekurang-kurangnya Pemerintah Aceh bisa menekan harga daging menjelang puasa Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha sebagai bentuk tanggungjawab layaknya para Sultan-Sultan Aceh terdahulu. Tidak memberi hal yang sama namun juga tidak memberatkan.

Sumber :
Qanun Meukuta Alam al-Asyi
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1683)

Tentang Penulis :
ARIS FAISAL DJAMIN, S.H
Sekretaris Majelis Pemangku Adat Kesultanan Aceh Darussalam
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Action Aceh

Please enable JavaScript in your browser to complete this form.
Jika Pilkada Aceh Barat Daya (Abdya) dilakukan hari ini siapakah calon Bupati pilihan anda?
Editor: Fitria Maisir